MALAM
DI KOTA MERAH
Malam. Malam yang dingin. Angin seperti menghunus
pisau dan mengiris setiap inci kulit waktu. Pisau berkilat di mataku. Pisau
yang sesungguhnya terarah dengan tepat di antara dua kening.
Cepatlah, sebelum tangan ini lepas dari kendaliku!
Teriak lelaki itu dalam getaran yang hebat. Aku tak tahu apakah ia marah atau
gentar. Suara keras, namun runtuh sebagai kemurungan. Aku mengambil dompet dan
kuserahkan dengan gemetar pula. Ini masalah nyawa, Bung. Satu-satunya. Bukan
kematian yang kutakutkan, namun janjiku untuk menemui seseorang tengah malam
ini, membuatku tak mungkin mengambil resiko untuk mencumbui ketajaman pisau dan
liar kegelisahan di sepasang mata yang nampak mulai berair itu. Ia menangis.
Sungguh. Tangisan apa pula yang mengalir deras dari seorang perampok.
LARON
Sedari pagi hujan terus mericis. Hingga menjelang
magrib baru liris, menjadi gerimis-gerimis tipis. Ketika langit mulai gelap,
dan lampu-lampu rumah dinyalakan, hujan sudah sempurna reda. Satu dua laron
mulai muncul dan berputar-putar mengitari lampu di teras rumah. Semakin lama
semakin banyak. Bahkan, beberapa sudah mulai menghambur ke dalam rumah,
melewati ventilasi dan celah-celah pintu jendela.
Tanpa sepengetahuan bapak, aku membuka pintu depan,
sedikit, supaya laron-laron itu bisa masuk ke dalam rumah, dan bisa kuajak
bermain dan berbincang-bincang. Tak kurang dari satu menit, laron-laron itu
sudah memenuhi ruang tamu, dapur, dan kamar-kamar. Berputar-putar berebut
cahaya. Sayap-sayap kecil mereka bertebaran di mana-mana bagai
potongan-potongan kertas yang sengaja disemburatkan di pesta ulang tahun atau
perayaan-perayaan.
Aku berteriak girang sambil meniupi sayap-sayap
laron yang luruh ke lantai. Indah sekali. Aku membayangkan saat itu sedang hujan
sayap, sayap peri. Tapi, tiba-tiba bapak muncul dari kamarnya dan
berteriak-teriak. Aku mengkerut.
PEMBURU AIR MATA
Buat penggemar matahari, malam selalu menakutkan.
Karena hanya pada malam, semua khayalan tentang iblis dan hantu memiliki tempatnya.
Malam entah kenapa selalu memecahkan rongga-rongga dada dan membuat denyut
jantung lebih cepat.
Terkadang gemerisik angin terlembut pun entah
kenapa tetap membuat helaan napas menjadi lebih berat. Malam adalah waktu di
mana hanya boleh dimiliki oleh orang-orang yang menahbiskan dirinya pada
kekuatan hati. Benar hanya orang yang berhati kuat yang akan berani menghadapi
malam. Seperti para pemberani di desaku. Suatu tempat amat elok di kaki gunung
Jaganmantri. Gunung yang kontur tanahnya menyerupai payudara ranum ibu yang
baru melahirkan itu benar-benar sangat cantik. Ibu semesta begitu setiap kali
ada orang yang bertanya tentang arti Jaganmantri.
KEPADA
MARIA JANAKOVA
Tidak lama
waktu yang kita lalui. Tapi bukan berarti tidak banyak pula yang kita lakukan.
Hanya dalam beberapa bulan kita berkenalan. Tetapi itu sudah cukup untuk
membuat kita seperti teman lama yang tiba-tiba bertemu secara tak sengaja di
tempat yang tak pernah direncanakan.
Aku masih
ingat, kamu menjerit histeria dan memelukku ketika pertama kali tahu bahwa aku
dari Indonesia. Ya, Indonesia, kamu sangat mencintai negeri itu. Entah mengapa,
banyak orang yang pernah ke Indonesia, akan jatuh cinta dengan negeri itu. Dan
bukan cinta sembarang cinta, tetapi cinta mati yang sangat mendalam. ”I love
Indonesia so much,” katamu.
KETIKA POHON ITU MASIH MEKAR
Perempuan berkebaya encim berwarna hijau itu
menoleh kepadaku dari kursi anyaman plastiknya yang berkeriut rapuh. Tampak
sekali bahwa kedatanganku telah mengalihkan pandangannya dari pohon cincau tua
yang tumbuh di halaman lapang.
Bila kupikir-pikir, keberadaan pohon itu sendiri
adalah sebuah keajaiban; suatu jenis ganjil yang tumbuh di tengah berkas-berkas
pepohonan karet yang tertancap kokoh di tanah pedesaan ini. Sebuah rumah antik
berdinding bilik nan apik dengan sentuhan cat putih berdiri di belakangnya.
Kabel-kabel menjuntai yang merepet di sela-sela atap menjadi ornamen yang cukup
kontras.
Aku memang berharap mendapati dirinya seperti ini.
Rupanya, ia telah menempatkan kursinya dengan hati-hati di depan pohon cincau
kesayangannya itu, kemudian duduk tafakur memandangi daun-daun hijaunya yang
melambai lemah diterpa angin musim panas. Pikirannya tenggelam ke masa-masa
silam; masa di mana akar-akar kuat pohon cincau merambat jauh dalam tanah,
hingga menembus lantai tanah ruang tamu rumah. Aku ingat bahwa akar-akar
mengganggu itu telah ditebas dan tanahnya diuruk rapat dengan semen, saat
renovasi rumah lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar